Meets Denise

“Baru sampe atau sudah daritadi?” tanya Dhirgam basa-basi kepada sang adik tiri.

“Baru sampe Mas,” jawab lelaki tersebut sopan.

Sekilas dari penampilannya, lelaki yang berusia sebelas tahun lebih muda darinya tersebut nampak terlihat seperti orang baik. Pakaian yang ia kenakan cukup rapih, hanya saja rambutnya agak sedikit panjang dan terlihat tak begitu beraturan. Dhirgam memaklumi hal tersebut sebab ketika ia berada diusia yang sama dengan sang adik, ia pun pernah berpenampilan seperti itu. Rambut yang dibuat sedikit agak gondrong, benar-bebar adalah ciri khasnya dulu ketika masih duduk di bangku kuliah.

“Udah mesen makanan?”

“Saya puasa Mas,” jawab lelaki tersebut lugas.

Ah, s-sorry,” ucap Dhirgam tak enak.

“M-maaf sebelumnya kalau saya lancang, kita langsung to the point aja ya Mas, soalnya saya gak keburu, sebentar lagi mau masuk kelas.”

Oh, ya. Jadi soal titipan dari Eyangti, kamu nanti bakal dapat sebagian. Tapi─” ucap Dhirgam terhenti sebab lelaki di hadapannya kini sudah menginstrupsi ucapannya.

“Kalau syaratnya untuk bawa Ibu pulang ke sini, saya gak bisa nyanggupin Mas,” ucap Denise berterus terang.

“Kenapa?”

“M-maaf, saya beneran gak bisa Mas.”

Why? Kamu taukan apa yang sudah Ibu kamu lakuin ke keluarga saya?” tanya Dhirgam tak mau lagi basa-basi.

“Keluarga kita Mas,” sahut Denise mengoreksi.

“Kita? Sadar kamu sama omongan kamu barusan?”

“Mau gimanapun saya juga tetap darah daging Ayah. Gak ada yang bisa merubah fakta itu!” ucap Denise sedikit memberontak.

Untungnya keadaan cafe pada hari itu cukup sepi, sehingga obrolan pelik tersebut tak banyak diperhatikan oleh orang lain. Hanya saja, Wisnu sang pemilik cafe sedari tadi tak memutus kontaknya dari kedua orang tersebut. Telinganya pun dengan jeli mendengar setiap kata yang terucap di antara kedua kakak beradik tersebut.

“Kenapa kamu berharap sekali sama warisan keluarga ini? Apa yang mau kamu lakukan dengan titipan ini hm?” tanya Dhirgam menginterogasi.

“Mau kamu kasih ke Ibu kamu? Iya?”

Ck! Jangan harap! Sepeserpun saya gak sudi ngasih uang saya untuk Ibu kamu,” imbuh Dhirgam jengah.

“Jadi tujuan Mas ngajak saya ketemu di sini apa?”

“Saya mau kamu bawa Ibu kamu itu menghadap ke saya. Nanti, setelah berhasil saya pastikan kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau. Gimana? Bisa?” tawar Dhirgam seraya menilik wajah murung sang adik tiri.

“Denise, kamu harus tau kalau kamu gak punya pilihan. Tinggal ikuti alur saya biar nanti semuanya aman. Ibu kamu itu cepat atau lambat akan berakhir di tangan saya, saat ini saya menghubungi kamu karena saya mau ambil jalan yang lebih singkat supaya tidak mengulur waktu terlalu banyak. Dan kamu, kalau tidak mau bernasib sama kayak Ibu kamu, cukup ikuti saja kata-kata saya. Bisa?” imbuh Dhirgam menjelaskan panjang lebar.

“Saya kasih kamu waktu satu hari untuk berpikir, besok saya mau kamu lekas menghubungi saya soal tawaran ini.”

“Kalau saya tolak tawarannya?” tanya Denise sembari menatap sosok kakak laki-lakinya yang kini sudah berdiri dari posisi semulanya.

Then you both will die.”

“Di tangan saya pastinya,” jawab Dhirgam enteng sebelum ia pergi meninggalkan lelaki yang masih setia duduk di sudut cafe tersebut.

Pikirannya kini dipenuhi oleh perasaan bimbang. Ia jelas tahu posisinya dan sang Ibu memang salah, namun sebagai seorang anak, Denise tetap tak mau mengorbankan ibunya begitu saja. Denise memilih lebih baik dirinya saja yang terluka, ketimbang harus merelakan sang ibu.



Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started