Dengan cepat Dhirgam melajukan sedan hitamnya menembus sepinya jalanan kala malam itu. Derasnya curahan hujan yang turun sama sekali tak menyurutkan niatnya untuk datang menyambangi rumah sang puan untuk kedua kalinya. Ada begitu banyak pertanyaan yang kini tengah memenuhi pikirannya usai mendapati potongan beberapa pesan yang dikirim oleh gadis kecil tersebut. Petunjuk yang semula begitu abu-abu kini mulai terlihat titik terangnya.
Sret!
Dhirgam lekas melepaskan sabuk pengaman yang sedari tadi melekat erat pada dada bidangnya. Jemarinya lekas menutup kembali menu pada ponselnya setelah dirinya mengabari sang gadis kecil untuk membukakan pintu untuknya setelah ia tiba.
“Ck! Parah hujannya,” ucap Dhirgam sebelum dirinya melangkah keluar menembus guyuran air hujan demi menemui sang puan.
Tok Tok Tok!
“Darleen?” panggil Dhirgam pelan sebab ia tak ingin membangunkan ibu dari gadis kecil tersebut.
“Sebentar,” sahut suara kecil Darleen dari dalam rumahnya.
“Okay.”
Ceklek!
Pintu pun lekas terbuka dan menampilkan presensi sang gadis kecil yang kini tengah mengenakan sebuah piyama tidur.
“Alin? Ngapain buka pintu?” sahut salah seorang perempuan yang tak lain merupakan Sadhira, Ibu dari gadis kecil tersebut.
“M-mommy….”
“Sadhira,” panggil Dhirgam seraya menatap wajah sang puan yang nampak tak begitu bersahabat.
“Bagus. Siapa yang suruh masukin orang dari luar ke rumah jam segini hm?” tanya Sadhira sembari menatap jengah wajah sang putri yang nampak ketakutan.
Sementara itu, sang putri nampak sama sekali tak berani mengalihkan arah pandangnya kepada sang ibu. Kepalanya ia tundukkan pasrah seraya menatap jemari kaki mungilnya.
“M-maafin Alin,” ucap gadis kecil tersebut dengan nada suaranya yang terdengar bergetar berusaha menahan tangis.
“Sadhira, bukan salah Darleen. Saya yang minta Darleen buat buka pintunya,” ucap Dhirgam berusaha menengahi situasi yang terasa begitu kalut.
“Pergi,” sahut Sadhira singkat sembari ia memegang ujung knop pintu untuk kembali ia tutup.
“M-mommy, jangan.”
“Lepas Darleen!” bentak Sadhira sesaat tangan mungil putri kecilnya berusaha untuk menahan gerakannya.
“Masuk ke kamar!”
Sementara itu, Darleen putri kecilnya kini sudah tak dapat lagi menahan tangisannya. Lelehan air mata kini sukses membasahi pipinya.
“Darleen Kimiko! Dengar gak Mommy bilang apa!” bentak Sadhira kembali dengan suara lantangnya.
“H-hiks… Mommy, m-maafin Alin….”
“Sadhira enough,” tegur Dhirgam yang merasa tak suka atas sikap keras sang puan terhadap gadis kecil tersebut.
“Pergi! Jangan datang lagi ke sini!” ucap sang puan sembari berusaha untuk menutup akses pintu masuk untuk lelaki tersebut. Ia sudah benar-benar muak atas semua kejadian yang melibatkan dirinya dengan lelaki tersebut. Sadhira sudah tidak ingin lagi melanjutkan barang sedetikpun waktunya bersama sang tuan.
Brak!
Pintu tersebut sukses terbuka lebar usai tangan kokoh milik lelaki tersebut berhasil melawan gerakan sang puan yang berusaha untuk menutup aksesnya.
“Keluar!” bentak Sadhira jengah.
Cup!
“Sssttt, Darleen jangan nangis lagi ya Nak,” ucap Dhirgam yang dengan sigap menggendong gadis kecil tersebut di dalam dekapannya.
“Gak usah pake acara ngebentak Darleen, gak bisa kamu?” tanya Dhirgam ketus.
“Marah dan emosi kamu itu, luapin aja semuanya ke saya, jangan ke Darleen.”
“J-jangan m-marahin Mommy Alin,” ucap gadis kecil tersebut seraya mengeratkan pelukannya dengan lelaki tersebut.
“Saya paham cara saya salah karena gak izin terlebih dahulu ke kamu untuk bertandang ke sini dan saya minta maaf untuk itu. Tapi saya mohon jangan begini ke Darleen.”
“D-darleen, ayo turun,” ucap Sadhira mengacuhkan ucapan lelaki tersebut sebelumnya. Ia pun bergegas mengambil alih tubuh putri kecilnya dari dekapan lelaki tersebut.
“Sadhira….”
“M-mommy jangan nangis” ucap gadis kecil tersebut sembari menatap sendu wajah sang ibu dari posisinya.
“P-pergi M-mas, jangan ganggu aku sama Alin lagi.”
“Sadhira, tolong kasih saya kesempatan satu kali lagi. Kita bahas semuanya dari awal ya,” ucap Dhirgam memohon.
“M-mas udahlah. A-aku gak mau maksa kamu lagi untuk percaya sama kata-kata aku. Anggap aja kata-kata aku kemarin gak pernah sekalipun terucap, anggap juga pertemuan kita yang sebelumnya gak pernah ada.”
“Please, stop crying. Maafkan saya,” ucap Dhirgam yang lekas mendekap tubuh sang puan dalam pelukannya. Rasanya hatinya ikut terasa sesak melihat lelehan air mata yang lolos membasahi wajah jelita wanitanya.
“I’m so sorry for everything. Tolong kasih saya kesempatan satu kali lagi untuk membenahi semuanya.”
Tangisan sang puan makin pecah bersamaan dengan pelukan sang putri yang semakin mengerat pada dekapannya. Hatinya masih terasa sakit namun di waktu yang sama ia juga mulai merasa lega usai mendengarkan penuturan tulus dari lelaki tersebut.
Ya, setidaknya ia harus memberikan satu kesempatan lagi untuk keduanya membenahi semua potongan memori yang terjadi di antara keduanya di waktu lampau.
Leave a comment