“How’s the food? Enak? Kamu suka?” tanya Sadhira sembari mendekatkan jarak kotak makanan tersebut agar lebih mudah dijangkau oleh sang kekasih.
“Seperti biasa, selalu enak!”
“Hehehe, thanks Mas,” balas Sadhira senang.
“By the way, kamu mau ngomongin soal apa ke saya? Sekarang saja, sambil kita makan,” ucap Dhirgam seraya melahap makanan yang sudah dibawakan oleh sang puan.
Sesaat Sadhira mencoba menarik nafasnya panjang, butuh niat dan keberanian yang besar baginya untuk melangkah hingga sejauh ini. Segala pertimbangan pun sudah ia pikirkan matang-matang, diterima atau tidaknya itu urusan nanti, yang terpenting niatnya sudah baik ingin meluruskan segala pemahaman yang salah di mata lelaki tersebut.
“Hmm? What’s that?” tanya Dhirgam tatkala ia melihat beberapa potongan foto yang kini ditata dengan rapi oleh sang puan di atas mejanya. Ia lekas menghentikan aktivitas sebelumnya kemudian mulai beralih fokus pada beberapa objek visual yang kini berada di atas mejanya.
“Huh? Ini saya sama kamu?”
“Iya Mas,” jawab Sadhira sekenanya. Niatnya kini sudah bulat, ia ingin menuntaskan semuanya.
“Kamu edit fotonya? Wah, rapi juga editan kamu. Mirip foto asli,” ucap Dhirgam takjub.
Cairan bening tersebut rasanya sudah memenuhi pelupuk matanya, namun sebisa mungkin Sadhira menahan agar deraian air matanya tak jatuh saat itu juga. Ia harus tetap fokus pada tujuan awalnya.
“Itu bukan foto editan Mas. Itu foto asli, foto pas kita masih sama-sama dulu.”
“We’re married?” tanya Dhirgam bingung.
“Ya. We’re married and I’m your wife,” jawab Sadhira lugas.
“Hahaha, ini april mop apa gimana? Gak lucu bercandanya, love. Ganti topik obrolannya.”
“M-mas, I’m being serious. K-kita emang udah pernah nikah dulu. Ini buktinya, semua foto-foto ini dan cincin ini!” ucap Sadhira dengan suaranya yang sudah mulai bergetar menahan tangis. Sudah ia duga, semua ini jelas tak akan mudah diterima oleh sang tuan.
“Sadhira, listen. Saya tahu kita sama-sama saling mencintai, t-tapi gak seperti ini juga. Saya gak pernah menikahi siapapun baik di masa lalu maupun di masa sekarang. Status kita cuma sebatas pacar, bukan suami istri.”
“M-mas. Kamu itu gak ingat apa-apa, setelah kecelakaan itu kamu lupa sama semuanya!” ucap Sadhira dengan nada suaranya yang mulai meninggi.
“Sadhira, stop berhalusinasi. Saya memang punya rasa sama kamu. Tapi untuk bukti dari foto-foto ini, semuanya belum tentu valid. I can’t accept these.”
“M-mas…”
“Kalau memang benar kata kamu kita pernah menikah, coba kasih saya bukti yang lebih valid lagi. Buku nikah atau dokumen pendukung apapun yang keasliannya bisa dibuktikan,” ucap Dhirgam pelan sebab kini ia mulai merasakan pening di kepalanya.
“Kenapa diam? Gak ada?”
“Mas, dengerin aku dulu,” sanggah Sadhira mencoba untuk menjelaskan alasannya.
“Ya, saya dengerin.”
“Aku berani bersumpah kalau kita dulunya memang pernah menikah. Kalau kamu bingung kenapa aku gak bisa kasih dokumen pendukung yang sah seperti yang kamu sebutin sebelumnya itu semua karena dulu kita belum sempat melangsungkan prosesi sesuai peraturan negara,” jelas Sadhira lugas.
“Wait, maksud kamu kita menikah secara sirih? Gitu?”
“Ya, tapi semuanya juga ada alasannya Mas. Dua bulan sebelum acara kita, keluarga kamu tertimpa musibah. Eyangkung kamu, Kaori Shailendra beliau wafat di tahun yang sama pas kita mau ngadain acara. Pihak keluarga kamu menentang keputusan kita yang akan melangsungkan acara di tahun yang sama. Katanya pamali melaksanakan pesta di tahun yang sama saat keluarga masih berduka.”
“Sadhira…”
“Aku belum selesai. Tolong dengerin aku dulu,” sahut Sadhira tak ingin disela.
“Eyangti kamu, jadi satu-satunya orang yang mengizinkan kita untuk tetap melaksanakan prosesi pernikahan di tahun yang sama. Tapi dengan satu syarat, kita nikah secara sirih terlebih dahulu untuk saling mengikat. Eyangti bilang, di tahun selanjutnya baru kita dikasih izin untuk melangsungkan prosesi pernikahan secara sah di mata agama dan negara.” imbuh Sadhira tegas.
“Sadhira, enough.”
“Kenapa? Kamu masih gak bisa percaya?” tanya Sadhira dengan nada suaranya yang terdengar sedikit melemah.
“G-gak mungkin. You must be kidding me.”
“Jadi harus dengan apa lagi aku jelasin ke kamu Mas? Foto-foto dan cincin ini, apa gak berarti apa-apa buat kamu?” tanya Sadhira dengan luluhan air matanya yang kini sukses membasahi pipinya. Ia benar-benar tak menduga, jikalau rasa sakitnya akan separah ini. Dadanya terasa sesak, hatinya ikut tergores tiap kali lelaki tersebut kembali mempertanyakan keabsahan ucapannya.
“A-aku g-gak minta hubungan kita dibawa ke status yang lebih sah. A-aku cuma mau k-kasih tau ke kamu, k-kalau a-aku dulu pernah hadir di kehidupan k-kamu yang d-dulu. A-aku c-cuma pengen kamu tau, k-kalau aku dan kamu d-dulu pernah jadi k-kita Mas,” adu Sadhira dengan suara sengaunya.
Tangisannya begitu pilu, perasaannya seperti kaca yang kini sudah pecah terberai menjadi kepingan kecil. Seperti yang ia sudah sebutkan, tak banyak harapannya kepada laki-laki tersebut. Sadhira hanya ingin sang tuan tahu jikalau hubungan keduanya pernah hadir di masa lalu.
“It’s okay. A-aku gak bisa maksa setiap ucapanku barusan untuk diterima sama kamu. I know, it’s hard for you to accept and figure out this bad news. But at least, I’ve done my best to tell you about the whole stuffs. Sisanya, terserah kamu kamu menerima atau gak,” ucap Sadhira seraya ia mengumpulkan kembali lembaran foto yang sempat ia tata di atas meja tersebut.
“I’m quit. Let’s end this,” imbuh sang puan seraya meninggalkan sang tuan yang masih setia duduk termenung di sofa coklat tersebut.
Leave a comment