Segores Luka

“Kamu lagi baca apa?” tanya Ghazam sembari mengikis jarak dengan sang puan di atas ranjang tersebut. Sedari tadi ia memperhatikan puannya nampak tengah begitu sibuk dengan tampilan yang muncul pada layar ponselnya. Entah apa yang tengah dilakukan oleh sang wanita hingga presensinya di ruangan tersebut tak dihiraukan sama sekali.

“Hmm? Lagi baca novel online ya?” tanya Ghazam sembari memperhatikan layar ponsel yang tengah menampilkan barisan kalimat yang tersusun rapi dalam bentuk narasi.

“Oh, paid content ya?” tanya sang puan sembari menggulir beberapa fitur pada layar pipih tersebut.

Paid content? Novelnya berbayar?” tanya Ghazam bingung.

“Hmm.” sahut sang puan singkat.

“Yaudah beli aja semua novelnya, pake apa bayarnya? Biar aku transfer.”

“Udah.”

“Oh, okay. Bagus ya ceritanya?” tanya Ghazam sembari matanya ikut menelusuri kata demi kata yang kini tengah dibaca oleh sang istri.

“Ya. Diksinya indah.”

“Apa judul novelnya?”

“Ishhh, ini tuh belum jadi novel. Baru dipublish di karyakars* aja,” jelas Varisha gemas seraya menatap wajah polos sang tuan yang nampak kebingungan.

“Oh, maaf maaf aku salah ya.”

“Hmm.”

“Jadi apa tadi judul ceritanya?”

“Nyala rahasia punyanya Nda Quilla,” jawab sang puan pasti. Beberapa waktu belakangan ini Varisha tengah tergila-gila dengan karya salah seorang penulis favoritnya. Ketika ia mempunyai waktu senggang, tak jarang ia akan menyempatkan diri untuk membaca karya tulis apik dari penulis kesayanganya.

“Aku mau punya suami kayak Mas Harun.”

Okay, panggil aku Harun Putra Magani,” sahut Ghazam sembari menciumi ceruk leher puannya. Harum semerbak aroma vanilla menyeruak sukses menggugah selera Ghazam untuk lekas ‘menyantap’ sang puan.

“Hahaha, apaan deh!”

Mom, aku mau ngomong,” ucap Ghazam sembari menatap wajah jelita wanitanya dari samping.

“Hmm.”

“Aku mau minta maaf soal perkataan aku yang kurang ajar banget ke kamu beberapa waktu yang lalu. Maaf juga karena aku udah ngebentak kamu di hadapan orang lain waktu itu. Mau gimanapun alasan yang melatar belakangi sikap buruk aku kemarin, tapi tetap aja tindakan aku gak bisa dibenarkan,” ucap Ghazam lugas.

I’m not good at handling my anger issues. Susah banget buat aku Mom. Terlebih lagi setelah aku baca chat dia di handphone kamu, tambah panas pikiran aku.”

“Hmm, aku boleh tanya sesuatu ke kamu?” tanya Varisha sembari ia menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas. Pikirannya kini mulai terfokus pada obrolan sang tuan yang tengah mencoba membenahi problema yang tengah terjadi di antara keduanya.

“Boleh.”

“Kemarin kamu bilang kamu nyesel ngasih kepercayaan ke aku. Kalau sekarang gimana? Masih nyesel atau gimana?” tanya Varisha yang kini sudah beralih mengganti posisinya menjadi duduk seraya menatap sang puan yang masih betah dengan posisi berbaring.

“Ini ada resikonya gak kalau aku jawab?”

“Ada. Yang pasti kalau sampai detik ini kamu masih nyesel karena sudah ngasih kepercayaan itu ke aku artinya kita harus nyelesain semuanya.”

Hell no,” rutuk Ghazam yang kemudian spontan menyusul sang wanita yang sudah lebih awal mengubah posisinya menjadi duduk.

“Jangan lupa ada tiga hal yang udah nopang hubungan kita sampe bisa awet kayak sekarang Kak,” ucap sang puan sembari menatap wajah rupawan sang lelaki.

Trust, respect and support. These three things, kamu inget kan? Kamu udah kasih kasih aku semuanya sedari dulu pas kamu ngelamar aku. Dulu kamu bilang kamu percaya kalau aku bisa berubah menjadi perempuan baik-baik and I really thanked for that. Tapi setelah kamu bilang nyesel udah kasih kepercayaan ke aku, rasanya sakit banget. Gak, aku bukan sakit hati soal ucapan kamu, tapi rasanya kayak aku habis ngecewain kamu,” jelas Varisha berterus terang.

You gave me everything, semuanya, hidup bahkan seluruh dunia kamu semuanya udah kamu kasih ke aku. Tapi aku malah dengan gampangnya ngehancurin itu semua. Ini maksudnya bukannya aku memvalidasi soal hubungan aku sama Mas Haris. Aku sama Mas Haris benar-benar gak ada hubungan apa-apa lagi. Cuma aja setelah kamu bilang soal penyesalan itu rasanya aku kayak habis bener-bener ngejahatin kamu.”

“Pun setelah kejadian itu, sampai hari ini aku ngerasa gak pantas buat bersanding sama laki-laki “baik” kayak kamu. Rasanya aku terlalu kotor buat kamu,” imbuh Varisha seraya ia menundukkan wajahnya.

“Ssstt… That’s it. Jangan dilanjutin lagi, aku gak mau dengar kelanjutannya.”

“Di sini aku yang harusnya minta maaf. Aku udah ngehancurin semuanya. I ruined our relationship and I hurt you the most,” ucap Ghazam sembari mengelus pelan cincin indah yang kini tengah bertengger indah pada jari manis sang wanita.

“Beberapa hari ini aku juga sering mikirin ini, soal Haris dan kamu. Aku berusaha untuk nempatin posisi aku semisal aku jadi kamu. Dulu, pas dunia kamu lagi hancur-hancurnya cuma dia kan yang nemenin kamu.”

“Aku paham meskipun caranya salah, tapi the way he’s always been there for you itu cukup luar biasa kalau mau dibandingkan sama kehadiran aku dulu. Dulu pas masih sama kamu aku taunya cuma kelonan, tidur bareng hal-hal remeh semua gak ada valuenya sama sekali. Pasti bedanya jauh banget sama cara pemikiran si tua-tua keladi itu,” tambah Ghazam menyambung kalimat sebelumnya.

“Semua struggle yang kamu hadapin dulu semuanya dibabat habis sama Haris. Bahkan dia rela potong salah satu sayap dia sendiri waktu itu cuma buat kamu, itu luar biasa banget.”

“Tapi, aku juga gak bisa memungkiri kalau hal-hal yang aku sebutin tadi malah bikin aku jadi makin takut buat kehilangan kamu. Yang kalian lewatin dulu sebegitu luar biasanya, aku takut kalah Ca,” ucap Ghazam mengakhiri kalimatnya dengan intonasi yang terdengar merendah.

“Kak….”

I don’t wanna lose you, aku mau kamu tinggal selamanya di sini sama aku. Tapi seringkali aku salah bertindak buat tetap nahan kamu di sini, kamu sering kesakitan gara-gara genggaman aku yang terlalu kuat,” ujar lelaki tersebut pelan.

“Maafin aku. Sekali lagi, tolong maafin aku Ca.”

Hening, tak ada lagi sambutan untaian kata yang mengalun pada seisi ruangan tersebut. Keduanya sejenak terdiam dan berusaha untuk memahami persekian kata yang telah terucap.

“Aku juga minta maaf, aku juga salah di sini. Aku udah ngerusak kepercayaan kamu. Maafin aku, Kak.”

It’s okay. Kita mulai semuanya dari awal lagi ya?”

“Hmm,” sahut sang puan mengangguk setuju.

Sedikit demi sedikit perasaan di antara kedua insan tersebut perlahan mulai membaik. Membuka dengan perlahan torehan luka kemarin sembari menggantinya dengan perban yang baru nampaknya tak terlalu buruk. Mungkin awalnya akan sedikit perih, namun percayalah perlahan namun pasti torehan luka tersebut akan semakin membaik dengan sendirinya.



Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started