Debate

Bugh! Bugh! Bugh!
Tak terhitung sudah berapa kali bogeman mentah mendarat di tubuh bugar lelaki tersebut. Ia tak menyangka jikalau tamu yang berkunjung ke kamarnya bukanlah sang puan yang sudah sedari tadi ia tunggu. Ya, sesuai tebakan Ghazamlah yang kini datang memenuhi ajakan dari lelaki tersebut.

“Ngapain lo ngedeketin Varisha lagi? Mau lo apaan hah?” tanya Ghazam beruntun sembari tangannya memegang erat kerah kemeja putik milik lelaki tersebut.

Pun kondisi Ghazam kini sama saja berantakan, sudut bibirnya sukses terluka usai menerima pukulan keras yang dibalaskan oleh lelaki tersebut, namun hanya saja kondisinya tak separah lelaki yang menjadi lawannya itu. Bagian mata, bibir, hidung serta area perut Haris terasa begitu perih usai menerima berbagai serangan membabi buta dari pria di hadapannya. Ia akui, tenaga lelaki tersebut benar-benar ekstra sampai-sampai dirinya pun ikut kewalahan dalam menghadapi serangan bertubi-tubi yang tak kunjung mereda.

Bugh!
“Jawab bajingan! Mau lo apa? Lo mau ngambil Varisha lagi dari gue? Iya?”

“Hmm, Ghazam… Ghazam… Ck, dari dulu emosi kamu gak pernah berubah ternyata. Hahaha, kamu pikir Varisha bakal terima sama sikap tempramen kamu ini, hm?” tanya Haris sembari ia menghempas kasar kedua tangan yang berada di ceruk lehernya tersebut.

I don’t give a fuck. Di sini lo yang salah, gak usah melintir statement yang lain,” sahut Ghazam yang kembali mendekati presensi lelaki yang berusia jauh di atasnya. Tangan kekarnya kembali mencekik ceruk leher Haris sehingga berhasil membuat lelaki tersebut sedikit kesulitan bernafas.

Mati saja kalau perlu.

Ghazam tak segan untuk menghabisi rivalnya kali ini. Stok sabarnya sudah terkuras habis, rasanya tak ada lagi sisa kesabaran untuk mentolerir sikap lelaki tersebut.

Tok Tok Tok!

“Buka!” pekik salah seorang perempuan dari balik pintu tersebut. Jelas terdengar suara tersebut adalah suara sang puan yang nampaknya sudah mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh kedua lelaki di dalam ruangan ini.

Tok Tok Tok!
Ketukan suara pintu tersebut kini terdengar lebih keras, tepatnya seperti suara pintu yang tengah dipukul dengan kuat dari arah luar. Jelas sudah emosi puan tersebut sudah mencapai puncak sehingga berhasil membuat kedua lelaki yang tengah berseteru tersebut menjadi diam.

Go see her,” ucap Haris kepada Ghazam. Pun, ia sudah siap menerima konsekuensinya jikalau sang wanita tak terima atas tindakan kekerasan yang ia lakukan kepada lelaki sang puan.

“C-ca,” panggil Ghazam usai ia memutar knop pintu tersebut.

“Ngerasa jagoan kamu?” tanya Varisha seraya kedua tangannya menarik paksa setelan kaos abu-abu yang tengah dikenakan oleh sang suami.

“Buat apa kamu ngelakuin ini Kak? Buat apa!” bentak sang puan kesal. Titik amarahnya sudah mencat level tertinggi, tak ada lagi satupun distraksi yang bisa meredakan emosinya kali ini.

“Menurut kamu kenapa aku bisa sampe begini, hah? Kamu baca gak semua pesan yang dia kirim ke kamu? Semua isi pesan dia ke kamu udah aku baca, Ca! Ck! Respon kamu begitu lagi, gimana aku gak marah coba?” balas Ghazam yang tak kalah emosi.

“Kamu mau balik lagi ke dia atau gimana? Ngomong sini ke aku kalau kamu mau balik ke dia lagi! Gak usah pake cara kotor begini!”

“Jaga bicara kamu!”

Brak!
“Jadi aku yang brengsek di sini? Terus kalian berdua apa hah?” ucap lelaki tersebut seraya menendang kuat pintu kamar hotel tersebut.

“Aku gak ada lagi balas chat Mas Haris sedari kemarin! Pun yang kemarin aku balasin karena aku mau berterima kasih sama beliau karena udah bantu nemuin Passport Gavin yang hilang! Gak mungkin aku langsung ngilang gitu aja kayak orang gak ada adab!”

“Ck! Lucu! Dan kalian pergi dinner bareng, tanpa bilang apa-apa ke aku dulu. Hebat banget, Ca! Salut aku sama kamu!” cerca Ghazam dengan tatapan tajamnya.

“Aku gak pergi sendirian, Ghaidan sama Gavin semuanya ikut aku! Aku gak segila itu sampe berani pergi berduaan sama laki-laki lain!”

“Terus kenapa gak bilang dulu ke aku hah? Sengaja kan karena kalau sampe aku tau pasti aku gak bakal ngizinin? Iya kan, Ca? Udalah, udah kebaca semuanya!”

“Ck! Emang dasarnya aku yang bego di sini. Bisa-bisanya ngasih kepercayaan sama kamu.”

“Maksud kamu apa ngomong begitu?” tanya Varisha seraya menatap wajah sinis sang suami.

“Lupa kamu sama masa lalu kalian berdua, hah? Mau aku ingetin lagi apa gimana?”

Mind your language Ghazam,” ucap Haris yang kini mulai membuka suara usai ia mulai memahami kemana arah pembicaraan yang dimaksud oleh lelaki tersebut.

“Shut the fuck up! Jangan sampe gue berubah pikiran untuk ngabisin lo.”

“Keluar, balik ke kamar sekarang,” titah Ghazam kepada sang puan yang masih diam di posisinya tersebut.

“Gak denger aku bilang apa? Keluar!” bentak Ghazam tepat di wajah sang istri.

“Berani kamu ngasarin Varisha, abis kamu di tangan saya Zam,” pesan Haris sebelum pintu kamarnya dibanting kuat oleh lelaki tersebut. Haris sedikit menyesal sebab ia tak bisa berbuat banyak untuk wanita tersebut. Kalaupun ia harus membantu, hal tersebut bisa saja semakin mempersulit keadaan. Terlebih lagi seperti yang sudah sudah, emosi Ghazam di luar nalar. Tak ada yang bisa meluluhkan hati yang begitu keras tersebut selain mengalah sekalipun titik salahnya bukan berasal dari diri sendiri.



Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started