“Happy wedding anniversary!” ucap Fariz sembari memegang satu buah kue beserta beberapa balon dengan warna merah muda di tangannya yang lain. Sedikit terkejut, sebab ia melihat presensi sang puan dengan mata yang sedikit sembab disertai mimik wajah yang terlihat pilu. Apa mungkin ini karena ulahnya hingga sang wanita menangis? Atau ada alasan lain? Begitulah sekiranya hal yang Fariz pikirkan saat ini.
“Hiks….”
“Bun?” panggil Fariz seraya ia meletakkan kue dan balon pada sisi lain kemudian ia pun bergegas menghambur untuk memeluk sang wanita.
“Gara-gara aku ya?” tanya Fariz tak enak.
“Maaf ya Sayang, maaf. Aku gak bermaksud buat ngebentak kamu tadi.”
“M-maaf…” sahut sang puan yang masih setia menangis di dalam pelukan sang lelaki.
“Maaf kenapa?”
“A-aku gak ingat kalau hari ini kita anniversary. A-aku g-gak siapin apa-apa buat kamu,” adu Zathira kepada sang suami.
“Sssttt… Udah gakpapa. Sekarang kita ke sebelah dulu ya.”
“Ngapain?”
“Aku ada kejutan yang lain buat kamu. Ayo, jalan,” ucap Fariz sembari membimbing sang istri menuju garasi yang berada di sebelah rumah mereka.
Sesampainya di garasi, Fariz pun lekas mendorong pintu untuk menunjukkan sebuah kejutan lain yang sudah ia persiapkan sebelumnya untuk sang istri.
“Tadaaaaaa! Gimana? Bunda suka?”
“I-jni buat aku?” tanya Zathira yang masih kaget usai melihat mobil impiannya kini tengah bertengger manis di garasi rumahnya.
“Iyalah buat Bunda. Gimana? Suka?”
“H-hiks s-suka! M-makasih,” sahut sang puan yang kini sudah kembali menangis.
Cup!
“Sssttt… Sayang, kok nangis lagi? Jangan nangis terus dong.”
“A-aku jadi ngerasa bersalah sama kamu. K-kamu udah siapin ini itu, t-tapi akunya gak ada nyiapin apa-apa.”
“Yaudah, yaudah. Aku minta kado yang lain aja kalau gitu. Boleh?” tawar Fariz kepada sang istri.
“M-mau kado apa?” tanya sang puan bingung usai menatap wajah mencurigakan sang suami.
“Mau kado debay lagi boleh? Mau cowo satu lagi Bun. Boleh ya?” ucap Fariz seraya memeluk tubuh ramping sang wanita. Pun, kedua jemarinya sudah mulai bergerak nakal dengan merogoh pinggul sang istri yang masih dibalut lengkap dengan setelan pakaian.
“Kita buat sekarang gimana? Mumpung Mbak sama Adek ada di rumah Umi, hm?”
“Y-ya, boleh.”
“Okay. Let’s go!” ucap Fariz girang sembari ia mengangkat tubuh sang wanita ala bridal style menuju ke area kamar milik keduanya yang berada di lantai dua.
Hari ini hanya milik keduanya. Menghabiskan malam yang begitu panjang hanya berdua tanpa gangguan dari orang lain, begitu nyaman. Bercerita sambil bercinta juga sebaliknya, Fariz dan puannya benar-benar menikmati momen indah kali ini dengan sebaik-baiknya. Menghabiskan waktu hanya berdua saja berhasil mengingatkannya kembali pada memori manis sebelum keduanya sempat memiliki buah hati.
Memang menyenangkan ketika hanya ada mereka berdua saja yang mengisi rumah tersebut, namun bagi Fariz dan Zathira kebisingan yang berhasil dicipta oleh sang buah hati pun tak kalah lebih menyenangkan lagi untuk ia dengar setiap hari. Suara manja sang putri yang sedang bermanja-manja dengan sang Ayah atau mendengarkan celotehan Mbak Faza yang sangat aktif berbicara, sungguh Zathira tak akan bosan.
Ini impiannya sejak dulu untuk hidup bahagia selamanya bersama orang terkasih. Pun, untuk sampai ke titik ini jalannya tak begitu mudah namun ia dan sang tuan berhasil sampai ke garis finish.
Fariz Akbar Pangestu, lelaki yang ia jumpai pertama kali di sebuah cafe beberapa tahun silam berhasil mengubah jalan hidupnya. Laki-laki kebanggaannya selain Ayah dan Mas Faatih. Zathira benar-benar bersyukur atas jalan Tuhan yang maha baik sehingga ia dapat dipertemukan dengan sang tuan. Begitupun Fariz, tiap harinya segala doa baik tak pernah putus ia haturkan untuk keluarga kecilnya. Baginya, level tertinggi untuk kita mencintai seseorang adalah ketika lisan sudah berani menghaturkan segala doa baik kepada sang pemilik Dzat. Sang puan dan ketiga malaikat kecilnya selalu masuk dalam daftar nama yang tak pernah absen untuk ia sebutkan. Ya, cintanya sudah habis di sini dan tak ada lagi yang bisa mengganggu gugat.
Leave a comment