“Mbak Zathira ada?” tanya Fariz yang baru saja tiba di butik seraya matanya sibuk mencari presensi sang istri di dalam ruangan tersebut.
“Ada di atas Pak, di ruangannya,” ucap salah seorang karyawati tersebut.
“Oh, okay makasih,”
Lantas Fariz pun bergegas menuju lantai atas tepat di mama ruang kerja utama sang puan berasa. Setibanya di depan pintu ruangan tersebut, ia pun tak lupa untuk mengetuk pintu terlebih dahulu pintu dengan aksen warna putih tersebut.
Tok Tok Tok!
“Masuk,” sahut seseorang dari dalam ruangan tersebut. Lantas, Fariz pun bergegas melangkahkan kakinya mamasuki ruangan tersebut.
“Oh, ada Mas Fariz. Masuk Mas,” ucap Zaki salah seorang pegawai laki-laki yang bekerja sebagai editor di butik milik sang istri. Dapat Fariz lihat, beberapa pegawai lain nampak sedang berkumpul bersama di ruangan tersebut.
“Jadi semuanya udah paham ya sama apa yang Mbak jelasin tadi? Ada yang mau ditanyain gak kira-kira? Atau ada point yang masih kurang jelas?” tanya Zathira seraya ia mematikan layar komputernya.
“Gak ada Mbak,”
“Okay. Kalau gitu sampe di sini dulu, semuanya siap-siap beres-beres pulang,” ucap puan tersebut sembari meletakkan kembali kacamata yang bertengger di batang hidungnya.
“Baik Mbak,” sahut beberapa karyawan yang berada di ruangan tersebut.
“Bun….” panggil Fariz sembari mendekati presensi sang istri.
“Apa?”
“Ayah mau-….” ucap Fariz terpotong sebab terdengar ketukan dari arah luar pintu.
“Ya, masuk,” jawab Zathira sembari ia memakai cardigan hitam miliknya.
“Permisi Mbak, ini saya dari coffee shop sebelah mau nganterin ini. Hari ini grand opening coffee shop kami Mbak,” ucap salah seorang laki-laki yang tak lain merupakan pemilik dari sebuah coffee shop yang terletak di sebelah butik milik puan tersebut.
“Ya ampun repot-repot Mas, makasih Mas….”
“Faris,” sahut lelaki tersebut dengan senyuman manisnya.
“O-oh…. Okay, makasih Mas Faris. Ini nanti biar saya bagiin sama karyawan yang lain ya Mas,” jawab Zathira sedikit kaget sebab lelaki tersebut memiliki nama yang sama dengan sang suami.
“Oh, iya boleh Mbak Zathira,”
“Ehmmm….” ucap Fariz berdeham sebab ia merasa keberadaannya seperti tak dianggap di ruangan tersebut.
“Oh ya, kenalin Mas. Ini suami saya, Fariz namanya. Fariz yang ini pake z hehehe,” ucap Zathira memperkenalkan sang suami kepada lelaki tersebut.
“Oh, s-suami Mbak Zathira? Maaf Mas, saya gak tahu. Tadi saya pikir Mas karyawan di sini,” ucap lelaki yang memiliki lesung pipit tersebut.
“Iya gakpapa, Mas Faris. Salam kenal Mas, saya suaminya Zathira,” ucap Fariz seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan lelaki tersebut.
“Salam kenal juga Mas Fariz pake z,” sahut lelaki tersebut berusaha untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung tersebut.
“Kalau gitu saya izin keluar dulu Mas dan Mbak. Selamat menikmati, kalau mau pesen kopi atau camilan boleh mampir langsung ke toko aja ya Mbak,” ucap lelaki tersebut ramah.
“Oh, iya Mas Faris. Sekali lagi makasih ya Mas. Nanti besok saya mampir deh Mas,”
“Oke, Mbak. Saya izin pamit dulu. Mari Mas,”
“Ya,” jawab Fariz seraya memperhatikan hingga ujung punggung lelaki tersebut menghilang dari pandangannya.
“Ganteng ya?” ucap Fariz seraya memperhatikan gerak-gerik sang istri yang kini tengah sibuk memasukkan barang bawaannya ke dalam tas.
“Zaki, ini ada kopi sama beberapa camilan dari coffee shop sebelah. Tolong dibagiin ya sama anak-anak di bawah,” ucap Zathira mengacuhkan pertanyaan dari sang suami barusan.
“Oh, oke Mbak. Nanti saya bagiin,”
“I’m talking to you Zathira Saaliha,” ucap Fariz sedikit jengkel sebab sang puan sedari tadi nampak mengacuhkan keberadaannya.
“Pertanyaan gak berbobot,” jawab Zathira ketus.
“Gak berbobot?” ulang Fariz seraya ia menatap tajam sang puan.
“Ck! Udah deh, Ayah mau pulang apa gak? Bunda udah capek, gak ada tenaga lagi mau berantem,”
“Kalau berantem di ranjang ada tenaganya gak?” ucap Fariz spontan sehingga berhasil membuat pipi sang wanita bersemu merah.
“Apaan sih!”
“Pura-pura gak paham nih ceritanya?” goda laki-laki tersebut sembari jemari nakalnya menjamah pinggul belakang sang wanita.
Plak!
“Fariz Akbar!” ucap Zathira dengan suara kerasnya.
“Astaga, ganasnya Bunda Zathira. Masih marah ya sama Ayah?”
“Menurut Ayah aja!” sahut Zathira sembari ia mengunci pintu ruangannya.
“Maaf Bunda. Ayah ngaku salah, Ayah janji gak bakal ngulang lagi,”
“Hmm, ya. Udahlah Yah, gak usah dibahas lagi. Bunda lagi gak mau ngeributin ini terus-terusan,” ucap Zathira sembari menuruni satu persatu anak tangga menuju lantai satu bangunan tersebut diikuti oleh sang suami.
“Okay. Ini kita pulang cari makan dulu ya? Bunda belum makan malem kan?”
“Iya. Kita drive thru McD aja gimana? Ayah mau?” ucap Zathira memberikan ide.
“Boleh,”
“Eh, Mas Fariz? Ada di sini? Mau pulang Mas?” tanya seorang perempuan yang tak lain merupakan Andini, salah seorang karyawan butik.
“O-oh, i-iya Din. Saya mau pulang jemput ibu negara”
Cup!
“Ayo, Bun. Semuanya, kita pulang duluan ya. Kalian nanti hati-hati pulangnya,” ucap Fariz berpamitan kepada para karyawan butik. Pun tanpa segan ia memberikan kecupan kilat pada bibir sang wanita di hadapan beberapa karyawan lain termasuk Andini, perempuan yang beberapa hari ini berhasil menyita perhatian Zathira atas sikap menyebalkannya.
“Acieee, siap Mas Mbak, hati-hati di jalan,” ucap salah seorang pegawai dengan senyuman ramahnya.
“Mbak duluan, nanti di crosscheck lagi ya ruangan lainnya sebelum butik di kunci,” pesan Zathira kepada beberapa karyawannya sebelum ia meninggalkan tempat tersebut.
“Siap Mbak,” ucap salah seorang karyawan patuh.
Leave a comment