“Bun! Zathira! Mau kemana?” panggil Fariz dari jarak kejauhan sembari mengejar sang puan yang tengah menyebrangi jalanan menuju sebuah warung makan yang berada di seberang kantornya.
“Pakde, ayam bakar paha sama tumis kangkungnya satu ya. Sama teh anget ada Pakde?” ucap Zathira sembari ia menempatkan dirinya di salah satu kursi yang tersedia di tempat tersebut.
“Ada Mbak,”
“Okay, teh angetnya satu ya Pakde,”
“Bun?” panggil Fariz seraya ia menarik salah satu kursi di hadapan sang puan.
“Oke Mbak, itu Masnya sekalian mau pesen?” ucap lelaki pemilik kedai tersebut.
“Samain aja Pakde,” jawab Fariz ramah.
“Oke Mas, ditunggu sebentar ya,”
“Siap Pakde,”
“Bun,” panggil Fariz yang kini kembali fokus kepada sang kekasih yang kini tengah berusaha membuka satu botol air mineral di genggamannya. Dengan sigap ia pun membantu sang puan untuk membuka botol tersebut lalu memberikannya kepada sang kekasih untuk diminum.
“Adzan ya?” ucap Zathira sembari ia menelaah asal suara adzan dikala sore itu.
“Kamu puasa?”
“Udah Bun, udah adzan,” ucap lelaki tersebut memperjelas.
“Mbak, Mas, ini teh angetnya ya,”
“Makasih Pakde,” ucap Zathira ramah.
“Bun, bisa kita ngobrol sebentar? Aku mau bahas soal masalah kita kemarin,” ucap lelaki tersebut seraya menatap dalam manik hitam sang puan.
“Aku udah ngerti, gak usah dijelasin apa-apa lagi,” jawab Zathira sembari ia mengaduk asal gelas minumannya.
“Bun, enggak. Semuanya belum jelas, masih ada beberapa point lagi yang perlu aku terangin ke kamu,”
“Bagian mana yang belum jelas? Pertama kamu ngecancel waktu kepulangan kamu cuma buat spending more time with her. Kedua, kamu gak ada bilang apapun sama aku sebelumnya,”
“Kalau sedari awal kamu bilang dan jujuran sama aku sebelumnya, mungkin rasa kecewanya gak bakalan sesakit ini. Kalau udah begini aku ngerasa jadi orang paling bodoh, kayak yang gampang aja dibegoin sama orang,” jelas sang puan berusaha sestabil mungkin mengutarakan kekecewaannya terhadap sang kekasih.
“Bun, maaf. Aku ngaku aku salah di sini,”
“Aku sampe mau nangis aja gak bisa saking kecewanya sama kamu kemarin. Aku ngerasanya kayak lagi diselingkuhin padahal mungkin aja kenyataannya enggak begitu kan?”
“Bun, demi Tuhan gak ada aku selingkuh!” cecar Fariz kuat.
“Aku cuma ngobrol sama Ara kemarin, ada hal penting yang perlu aku obrolin ke Ara. Alasan kenapa aku sampe maksain buat ketemu hari itu juga karena mungkin di waktu selanjutnya aku gak bakalan ketemu Ara lagi”
“Aku udah pasti bakal pulang langsung ke Surabaya, gak bakalan ada waktu buat sempet mampir ke mana-mana lagi. Tahun depan juga walaupun aku udah balik lagi ke Jakarta belum tentu aku bakalan sempet ketemu karena udah pasti fokusnya aku udah beralih buat nyiapin lamaran,”
“Penting?” tanya Zathira kepada lelaki tersebut.
“Iya,” jawab Fariz pelan.
“Kalau dia lebih penting, artinya aku cuma jadi opsi kedua aja ya buat kami di sini?” tanya Zathira terang-terangan.
“Bukan gitu, Bun. Shhhhh, fine aku salah, maaf,”
“So, it’s about priority and it looks like I’m not your priority, itu sih intinya,” ucap puan tersebut santai sembari ia menuang nasi ke dalam piring untuk lelaki tersebut.
“Bun,”
“Gakpapa, kamu gak salah kok. Semua orang punya prioritasnya masing-masingkan?” ucap Zathira berusaha menahan rasa perih yang kini tengah menoreh hatinya.
“Akunya yang salah di sini karena udah nempatin harapan yang terlalu tinggi kamu,” imbuh sang puan yang berhasil menohok perasaan lelaki di hadapannya.
“Fariz,”
“Y-ya?”
“Aku izin ambil setengah perasaan aku yang ada di kamu ya,” ucap sang puan sembari ia menyiapkan beberapa hidangan tambahan di piring lelaki tersebut.
“Mau aku keep lagi, mau aku simpan jauh-jauh biar gak kecewa lagi nantinya. Boleh ya?”
“Bun, maaf,”
“That’s okay, aku udah maafin,” ucap sang puan dengan senyuman tulusnya.
“Enjoy your meals. Nanti setelah ini kamu pulang ya, aku lembur hari ini. Belum pasti pulangnya kapan, aku juga bawa mobil tadi jadi kamu gak perlu repot-repot jemput aku ke sini,” sahut Zathira sembari ia menyingkirkan sambal yang berada di piring lelaki tersebut sebab yang ia tahu lelaki tersebut tak bisa menyantap makanan yang terlalu pedas.
“O-okay,” sahut Fariz mengakhiri perbincangan di antara keduanya di kala sore itu.
Leave a comment