“Mau pakai sendok aja? Kalau mau nanti Mas mintain ke Abangnya,” tawar Fariz sembari menatap wajah sang mantan kekasih.
“Gak usah, pakai tangan aja,” jawab Gadara singkat.
“Ashhhh, panas,” ucap puan tersebut kaget sebab makanan yang baru saja tiba tersebut masih panas.
“Sini, biar Mas suwirin dulu,” ujar Fariz kemudian ia pun dengan sigap membagi ayam goreng tersebut menjadi beberapa bagian kecil agar memudahkan sang puan.
“Udah,”
“Thanks,”
“Jadi gimana? Apa yang mau dibahas?” tanya Fariz berterus terang.
“Hmm, aku mau minta maaf. Untuk semuanya, untuk segala sikap dan ucapan aku yang udah nyakitin kamu dulu. Maaf karena dulu aku gak bisa jadi pacar yang baik buat kamu Mas,” ucap puan tersebut tulus.
“Aku gak pantes kan Mas buat dapetin maaf dari kamu?” tanya Gadara seraya ia menatap manik lelaki di hadapannya untuk melihat sela kebohongan yang mungkin saja terlihat dari sorot mata tajamnya.
“I never said that?” jawab Fariz santai. Kali ini jiwanya sudah lebih tenang tatkala ia harus kembali di hadapkan dengan sang mantan kekasih yang dulu sempat memberinya luka.
“Semakin aku ngingetin kenangan yang dulu-dulu, rasanya semakin sakit, Ra. Jadinya sekarang aku ikhlasin aja, biar Mas bisa jauh lebih tenang kayak sekarang,” imbuh lelaki tersebut sembari ia kembali menaruh beberapa lauk tambahan di piring sang puan.
“Mas gak tau hal apa yang bikin kamu bertindak kayak begitu. Kamu juga gak pernah cerita ke Mas tentang apapun itu masalah kamu. Pun, kalau mau dikaitkan sama keluarga Zathira, kayaknya gak masuk akal juga. Karena sifat kamunya yang begitu udah jauh terbentuk sebelum kamu tahu kalau Mas dan Zathira saling mengenal,”
Hening, tak ada sambutan jawaban dari sang puan maupun sambungan kalimat yang diberi oleh lelaki tersebut. Keduanya kini terdiam menelaah situasi agar tak ada lagi masalah baru yang muncul apabila tak ada kendali dari tiap kalimat yang mereka utarakan.
“Hmm, udahlah. Gakpapa, Mas gak mau ngungkit masalah ini lagi. Yang penting kita berdua sekarang udah saling memaafkan ya, Ra. Kita buka lembaran baru dengan orang dan suasana yang baru. Ara juga harus cari sumber bahagianya Ara yang lain, cari laki-laki yang memang beneran pantes buat bersanding sama Ara, juga laki-laki yang bisa Ara banggain di depan orang lain,” ucap Fariz tulus sembari menatap tulus wajah elok sang puan.
“Iya Mas,” sahut Gadara pelan. Sedikit banyak perasaannya yang terasa berat selam beberapa hari balakangan kini mulai mereda. Separuh hatinya terasa lapang setelah ia meluruskan semua problema yang ada dengan lelaki yang dulu begitu tulus mencintainya. Akan tetapi, ada pula perasaan mengganjal yang tersembunyi jauh di lubuk hatinya sebab yang ia tahu sekarang lelaki tersebut kini sudah dimiliki oleh orang lain. Terlebih lagi perempuan yang bersangkutan digadang-gadang memiliki sejarah selisih paham dengan keluarganya. Ia makin tak suka.
“Mas,” panggil Gadara kepada lelaki tersebut.
“Ya?”
“Pulang ini kita jalan lagi mau?” tanya Gadara hati-hati.
“Mau jalan kemana?”
“Kemana aja terserah, kita ngobrol lagi sambil jalan. Aku sumpek, lagi pengen ngehirup udara segar,” ucap sang puan membeberkan alasannya.
“Satu jam aja ya? Soalnya Mas tadi udah izin sama Papa Galih buat mulangin kamu jam sepuluh ke rumah,”
“Iya,”
“Ya. Dah abisin dulu makanannya,” ucap Fariz sebelum ia mengakhiri sesi obrolan beratnya dengan sang mantan kekasih di kala malam itu.
Leave a comment