Tentang Zathira

“Jadi gimana? Apa yang mau kamu omongin, hm?” tanya lelaki Faiz yang kini tengah berbaring di atas sofa dengan paha sang puan yang menjadi tumpuan. Sepulang dari kampus, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua mereka di kediaman sang puan.

“Zathira, lagi sibuk ngapain sih?” tanya lelaki tersebut terdengar sedikit kesal sebab sang wanita kini tengah sibuk sendiri dengan ponselnya.

“Bentar ya, aku mau balas imess penting dulu,” sahut sang puan sembari mengelus pelan pipi sang lelaki.

“Hmmm,”

Okay, done! Sampe mana tadi?” tanya gadis tersebut sembari meletakkan ponselnya ke atas meja. Sementara itu, lelaki tersebut nampak merajuk sehingga ia memutuskan untuk sama sekali tak menjawab ucapan sang puan.

“Fariz?”

“Marah ya?” tanya puan tersebut memastikan.

“Fariz?”

Tak juga menjawab, Faiz nampaknya masih kesal sebab sang puan sempat mengacuhkannya beberapa saat yang lalu. Kini ia berpura-pura menyibukkan dirinya dengan ponsel yang ia genggam. Sengaja, ia ingin sedikit memberikan balasan serupa kepada sang puan.

Cup!
“Fariz, I’m talking to you,” ucap Zathira sesuai ia memberikan kecupan di bibir lelaki tersebut.

You kissed me?” tanya lelaki tersebut sembari menatap sang puan.

“Iya. Lagian kamunya gak nyaut aku panggilin daritadi,”

“Yaudah, coba kamu ngomong lagi. Nanti akunya pura-pura gak denger lagi aja,” goda Faiz sembari tersenyum kecil.

“Ishhhhhhh!” dengus sang puan sedikit kesal usai mendengar penuturan lelaki yang kini masih setia berbaring di atas tumpuan tubuhnya tersebut.

“Hahaha, bercanda cantik. Yaudah, ayo lanjutin kamu mau ngomong apa. Aku dengerin,”

Okay, kamu dengerin baik-baik ya. Aku gak bakal ngulang ini dua kali. Dengerin dulu aku ngomong sampai selesai, baru kamu boleh nanya setelahnya, paham?” ucap perempuan tersebut menjelaskan.

Okay, I got it cantik,”

Okay, aku mulai ya. Aku bakal jelasin dari keluarga aku dulu. Aku udah gak punya Ayah lagi, sekarang cuma punya Ibu aja. Ibu adalah satu-satunya anggota keluarga yang aku punya. Ibu sekarang tinggal di Belanda, gak di sini. Tapi, Ibu aslinya orang Indo kok, cuma karena ada satu dan hal lain hal yang terjadi di sini jadi Ibu terpaksa tinggal dan menetap di sana,”

“Aku pun dulunya ikut Ibu. Dari aku umur dua tahunan aku tinggal di Belanda sama Ibu. Tapi, setelah aku nyelesain pendidikan di sana, aku mencoba buat keluar dari zona nyaman aku dan mulai membuka lembaran baru di sini. Dan ya, as you can see, aku memulai karir aku dengan terjun di usaha yang sedang aku bangun sekarang,”

Okay terus,” ucap lelaki tersebut sembari menggenggam jemari sang puan.

“Aku juga dulu punya saudara kembar, namanya Sheila. Kalau kamu ingat pas aku lagi demam tinggi, terus aku mimpi sampe nyebut nama Sheila, yap… Itu aku lagi mimpiin dia Iz. Selalu begitu polanya, setiap aku jatuh sakit aku pasti bakalan mimpiin Sheila bersama dengan beberapa kenangan pahit kami dulu,”

But it looks like you had a bad dream?” tanya Faiz memastikan.

“Iya, memang mimpi buruk. Karena kenangan gak baik, jadinya dapat mimpi yang gak ngenakin,” sahut sang puan menjawab pertanyaan lelaki tersebut.

Okay, I got it. Terus?” ucap lelaki tersebut yang penasaran dengan kelanjutan cerita sang puan.

“Dan soal aku yang kenal sama Gadara waktu itu, kamu masih inget?”

“Oh, yang pas aku baru masuk kerja itu ya?” tanya Faiz memastikan.

“Iya,”

“Kenapa? Kamu kenal sama Gadara? No, I mean you know her in different way, bukan yang cuma sekedar kenal atau tahu aja? Iya?” tanya Faiz sembari manatap lurus ke arah manik sang puan.

Drrrrt! Drrrrt!

Belum sempat perempuan tersebut menjawab, tiba-tiba suara dering ponsel lelaki tersebut berbunyi. Faiz pun lantas segera mengambil ponsel genggamnya dan langsung mengangkat sebuah panggilan dari sang orang tua.

[Halo, assalamu’alaikum Bi?]


[Udah, Fariz udah selesai sidangnya. Kenapa Bi?]


[Innalillahi wa innalillahi rojiun. Ya, Fariz langsung pulang sekarang, dah assalamu’alaikum]

“Kenapa Iz? Siapa yang meninggal?” tanya sang puan panik.

“Itu, kakaknya Umi. Duh, ini akunya pulang sekarang gakpapa ya? Soalnya kita sekeluarga mau langsung berangkat ke Cirebon,” ucap Faiz terburu-buru.

“Oh, ya gakpapa. Ini kamu sementara bawa mobil aku aja. Biar gak ribet,”

“Huh? Gak usah, gakpapa nanti aku Umi sama Abi biar baik kereta aja,” tolak lelaki tersebut tak enak.

“Udah gakpapa Iz, pake aja. Kasian sama Umi Abi kalo mesti naik turun kereta, bawa aja mobil aku sementara. Gak usah musingin aku di sini, aku aman kok,” ucap puan tersebut sembari memberi satu buah kunci mobil miliknya kepada lelaki tersebut.

“Ini beneran?”

“Iya, Fariz. Udah gih, pulang sekarang ya. Kasian Umi di rumah, pasti lagi sedih banget,” jawab Zathira pelan.

Cup!
“Hmm, ya. Makasih dan maaf jadinya ngerepotin kamu,” ucap lelaki tersebut sembari memberi kecupan di bibir manis sang puan.

That’s okay, aku ngerti kok,” jawab Zathira dengan wajah yang sedikit bersemu merah.

Thanks, aku pergi dulu ya. Kamu kalau ada apa-apa langsung kabarin aku,” pesan lelaki tersebut kepada sang puan.

“Iya,”

“Oh ya satu lagi,”

“Apa?” tanya gadis tersebut sembari menatap manik hitam lelaki yang kini masih memakai setelan kemeja putih tersebut.

You’re mine, now. Jangan nakal, gak boleh ganjen sama yang lain, okay?”

“Fariz…” sahut puan tersebut bingung.

“Aku gak nerima penolakan apapun Zathira,”

“Dah, aku pergi dulu. Nanti kalau udah sampe aku kabarin kamu lagi ya,” ucap lelaki tersebut berpamitan.

“Hmm, ya. Hati-hati Fariz. Titip salam buat Umi dan Abi,”

“Ya, dah aku pergi,” jawab lelaki tersebut sebelum ia melajukan honda yaris berwarna abu-abu tersebut membelah jalanan.



Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started