Seusai ia memutar kunci pada knop pintu kamar tersebut, lantas Ghazam lekas menghampiri presensi sang istri yang kini tengah memangis tersedu-sedu di atas ranjang.
“Sayang maaf,” ucap Ghazam sembari berlulut di sebelah ranjang tersebut.
“Pakai kaos kaki dulu ya, nanti setelahnya aku pijitin ya,” imbuhnya kemudian ia pun bergegas berjalan menuju lemari tempat sang istri menyimpan beberapa kaos pasang kaos kaki miliknya.
“Ibu h-hamil di t-tempat aku y-yoga m-masih p-punya ibu b-bahkan orang tuanya m-masih lengkap buat n-nemenin anak p-perempuannya yang l-lagi hamil,”
“S-sedangkan aku, a-aku udah gak p-punya lagi. A-aku di sini cuma p-punya kamu,” adu sang puan terbata sebab tangisannya tak kunjung berhenti.
“Sayang,” sahut Ghazam yang mulai merasa bersalah usai mendengarkan penuturan sang istri yang berhasil menyayat hatinya.
“M-maaf kalau akunya ngerepotin kamu selama ini dan banyak m-minta ini itu sama kamu. T-tapi tolong ditunggu sebentar lagi, s-setelah fase ini terlewati aku b-bakal usahain untuk jadi perempuan yang mandiri lagi,”
“Ssssstt! No, jangan ngomong yang aneh-aneh lagi ya. Maaf, akunya yang salah di sini karena udah sering ninggalin kamu sendirian,” sahut Ghazam seraya ia memakaikan kaos kaki di kaki sang istri yang nampak sudah membengkak tersebut.
Cup!
“Please use me as much as you want. Apapun yang kamu perlu, kasih tau aku Mom,” ucap lelaki tersebut seraya memberi kecupan di kening sang istri.
“Ayo, tidur sini. Biar aku pijitin punggungnya,” imbuh lelaki tersebut sembari menata beberapa bantal untuk dijadikan sebagai sandaran oleh sang istri.
“Pegel semua badannya?” tanya lelaki tersebut memastikan.
“Iya,” jawab Varisha jujur.
“Okay, nanti aku pijitin semuanya ya,” ucap lelaki tersebut sembari menggulung lengan kemeja putihnya hingga ke bagian siku tangannya.
“Ya makasih,” sahut sang puan yang kini mulai merasa lega sebab kehadiran sang suami kini berhasil menghilangkan beberapa perasaan kalut yang beberapa hari ini sering melanda pikirannya.
Leave a comment