Golden memory untuk Hani

“Mas Mahen! Ayo gabung ke sini aja!” panggil Varisha kepada seseorang lelaki yang nampak tengah kebingungan mencari tempat.

“Hai! Mas izin gabung ya,”

“Iya, mari Mas,” ucap Varisha sembari tersenyum manis.

Untuk sesaat tak begitu banyak obrolan yang terjadi di antara kedua orang tersebut, masing-masing dari mereka kini tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Namun kalau boleh jujur, sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang kini tengah menggerayangi pikiran lelaki tersebut sedari tadi, ada perasaan yang membuatnya bingung sebab seperti yang ia ketahui sang atasan kini telah melabuhkan hatinya dengan perempuan lain, bukan dengan sosok perempuan yang kini tengah berada di satu meja dengannya. Mahen ingin mempertanyakan hal tersebut namun rasanya ia tak sampai hati ingin mengucapkan kata-kata tersebut.

“Kenapa Mas Mahen? Kok kayak bingung gitu?” tanya Varisha sembari menyuapi gadis kecil di sebelahnya.

“Oh, e-enggak Mba, hehe…” sahut Mahen sembari tersenyum tak enak.

“Kenapa? Bingung ya kenapa Bapak jadinya nikah sama Mba Dyah? Bukan sama saya?” tanya Varisha yang nampaknya sudah paham dengan gelagat bingung dari lelaki tersebut.

“Ini semua bukan salah Bapak kok Mas, emang maunya saya begini,” ucap Varisha mulai menjabarkan teka-teki yang sedari tadi menggerayangi pikiran lelaki tersebut.

“M-maksudnya gimana Mbak?” tanya Mahen yang kini mulai memfokuskan dirinya untuk mendengarkan perbincangan dari perempuan di sebelahnya.

“Waktu pas saya lagi ngurus buat wisuda Bapak sempet nanya dan nawarin sesuatu ke saya Mas. Ya, Bapak punya rencana untuk ngelamar saya setelah aku tamat kuliah, juga di sisi lain pun Bapak menaruh perasaan ke Mbak Dyah, Ibu sambungnya Hani,”

“Tapi pada saat itu Bapak bilang, beliau bakal tanya saya dulu soal lamaran itu. Apakah saya mau atau gak, terus saya jawab Bapak lebih baik pilih Mbak Dyah aja, soalnya Hani bakal lebih butuh Bapak daripada saya. Terus, lagipula untuk saat ini saya juga gak punya ketertarikan lebih untuk membangun hubungan rumah tangga, jadi ya saya saranin aja ke Bapak untuk melamar Mbak Dyah. Terus juga kayaknya Bapak lebih cocok sama Mbak Dyah ketimbang sama saya, yakan Mas? Hehe…” ucap Varisha

“I-jya Mbak, t-tapi hubungan Mbak dan Bapak juga kan udah lumayan lama juga, maksud saya apa gak sayang gitu? Bapak juga kelihatannya sayang banget sama Mbak,” ucap Mahen sembari menyeruput minuman di gelasnya.

“Mas, ketimbang rasa sayang Bapak ke saya, rasa sayang Bapak ke Hani lebih besar lagi. Pun, Hani juga masih kecil banget, masih perlu perhatian dan kasih sayang dari sosok ayah dan ibu. Kalau saya mah gampang, udah ngerasain dulu, kalau Hani kan sama sekali belum pernah. Gakpapalah, biar ini bisa dijadikan Hani sebagai golden memorynya, biar pas besar nanti Hani bisa selalu ingat kalau dia itu beneran disayang sama orang terdekatnya, bukan malah sebaliknya,”

“Mbak Varisha,” panggil Mahen singkat.

“Ya, Mas Mahen?”

“Hiks, s-saya izin nangis,” ucap Mahendra yang kini sudah menundukkan kepalanya sambil menangis.

“Astaga, Mas Mahen… Kenapa, aduh. Ini tissue tissue,” ucap Varisha seraya memberikan dua lembar tissue kepada lelaki tersebut.

“M-makasih Mbak,” sahut Mahen sembari ia menutupi wajahnya sebab merasa malu.

“Iya, Mas Mahen. Udah ah, jangan nangis lagi, malu diliatin sama orang lain,” ucap Varisha mengingatkan.

“I-jya, Mbak,” jawab Mahen seraya ia mengusap sisa air matanya dengan tissue tersebut.



Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started