“Hai, sorry. Aku gak telat kan?” tanya Ghazam yang kini tengah mengambil nafasnya berat usai berlari dari parkiran menuju halaman belakang gedung tersebut.
“Gak. Masih ada waktu lima menit lagi,” jawab Varisha singkat.
“Hmm, okay. D-dari mana yang mau kita bahas?” tanya Ghazam seraya menarik salah satu kursi tua di hadapan gadis tersebut.
“Gak ada yang perlu dibahas lagi. Kita langsung ke point utama aja. Let’s end this,” jawab Varisha berterus terang.
“Beneran gak bisa diperbaiki lagi ya, Ca?” tanya Ghazam seraya menatap lekat wajah sendu gadis tersebut.
“Gak bisa,” jawab Varisha yang sedari tadi sama sekali tak berani menatap wajah lelaki tersebut. Bukannya apa, gadis tersebut hanya takut jikalau ia harus jatuh lagi di dalam genggaman lelaki tersebut. Varisha tak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi, ia sudah jera.
“Okay, gakpapa,” jawab Ghazam pelan. Sementara itu, gadis tersebut cukup kaget usai mendengarkan jawaban lugas dari lelaki tersebut. Rasanya ini bukanlah Ghazam sang kekasih yang ia kenal, Ghazam yang ada di hadapannya kali ini begitu berbeda. Tak ada intonasi emosional dari setiap ucapannya, pun tak ada aksi paksaan dari tindakan lelaki tersebut kali ini. Semuanya benar-benar di luar ekspektasi.
“Tapi, kita boleh tetep temenan kan?” lanjut Ghazam seraya menatap lurus wajah manis sang mantan kekasih.
“Ya,” jawab Varisha dengan suara pelannya. Ada intonasi yang cukup perih yang saat ini tengah ditahan mati-matian oleh gadis tersebut. Semuanya terasa aneh, sadari awal ia yang ingin mengkahiri hubungannya dengan lelaki tersebut, namun di lain sisi ada rasa sekit yang luar biasa menguras emosi tatkala kata-kata perpisahan tersebut terlontar dari keduanya.
“Aca harus bahagia ya, maafin Kak Azam kalau selama kita bareng Acanya sedih terus. Aca berhak untuk dapet laki-laki lain yang lebih baik dari Kak Azam,” ucap Ghazam tulus seraya mengusap pucuk kepala gadis tersebut.
“Ya, Kak Azam juga. Mau sama siapapun yang jadi pelabuhan terakhirnya, Kak Azam harus bahagia,” jawab gadis tersebut berusaha sekuat hati mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan hatinya.
“Ya, pasti,” jawab Ghazam sembari mengukir senyuman manisnya untuk gadis tersebut.
“Dah, semuanya udah clear ya? We’re still a good friend right?” tanya Ghazam memastikan.
“Yes, we are,” sahut gadis tersebut.
“Okay. Dah, Kak Azam izin cabut duluan ya, Kak Azam mesti ke gedung praktek mau nyelesain tugas, Aca mau langsung pulang?” tanya lelaki tersebut yang kini sudah bangkit dari kursi tua tersebut.
“Ya,” jawab Varisha singkat.
“Mau Kak Azam anter?” tawar Ghazam kepada gadis tersebut.
“Gak usah, Aca nanti bareng Nawu,” tolak gadis tersebut sopan.
“Oh, okay. Kak Azam duluan ya kalo gitu. Dah,” ucap Ghazam berpamitan.
“Ya,” jawab gadis tersebut singkat seraya matanya tak usia memutus kontak memperhatikan punggung belakang sang mantan kekasih yang kini tengah berjalan menjauh darinya.
‘Shit, sakit banget!‘ ucap Ghazam di dalam hati usai ia memutuskan untuk pergi meninggalkan gadi tersebut. Sedari tadi ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan egonya agar tak menguasai dirinya.
Leave a comment